DINASTI
BANI UMAYYAH
- Pendahuluan
Sepeninggalan Nabi Muhammad SAW dan
berakhirnya Khulafa’ur Rasyidin, umat Islam dipimpin oleh 7 dinastii yang
mempunyai kekuatan besar.[1] Sebuah
dinasti besar yang sangat berpengaruh dan meninggalkan banyak peninggalan yang dapat
dirasakan umat di seluruh dunia hingga saat ini adaah tidak lain peran dari
dinasti Umayyah. Dinasti yang didirikan oleh keluarga Umayyah yang berlangsung
selama 90 tahun. Dimuali dari kekhilafafan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yaitu
setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Meskipun Hasan bin Ali memegang
kekuasaan setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib, namun dikemudian hari ia
menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk meredam keributan
umat pada waktu itu karena terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, perang Shiffin,
perang Jamal, serta kejadian-kejadian yang lainnya.
Hudhari’ Bik mengatakan bahwa yang
mengagumkan dari dinasti raksasa ini adalah meskipun diterpa berbagai bencana,
fitnah, dan pemberontakan, ia taidak tampak lemak dihadapan umat-umat yang
lain, kecuali pada kesempatan yang sangat jarang sekali.[2]
Pada masa dinasti inilah Islam dapat
menaklukkan berbagai negara. Kekuasaan Islam sampai darerah Asia Tengah, daerah
Afganistan dan Kabul. Sedang angkatan lautnya mulai bergerak ke wilayah Bizantium
dan Konstantinopel. Bahkan pasukan muslim bergeran sampai India. Perluasan
wilayah juga terjadi di wilayah Afrika Utara dan Eropa. Spanyol dan Perancis
dapat dikuasai Muslim papa kekhifahan Umar bin Abdul Aziz. Pada makalah inilah
akan dibahas secara sibgkat perkembangan umat Islam selama kekuasaan Bani
Umayyah.
- Asal Usul Kebangkitan Dinasti Umayyah
Dalam pemerintahan Dinasti Umayyah,
yang tidak boleh dilupakan adalah asal usul keturunannya, sehingga terjadilah
Daulah besar yang berhasil menaklukkan berbagai negara di Asia, Afrika, dan
Eropa. Sebelum Dinasti Umayah muncul, para Khulafa’ur Rasyidin telah memerintah
Daulah Islamiyah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Keturunan Nabi Muhammad
dan Umayyah bertemu dalam satu kakek yang bernama ‘Abd Al-Manaf dari suku
Quraisy. ‘Abd Al-Manaf mempunyai dua anak yaitu ‘Abd Al-Syam dan Hasyim. Dari
‘Abd Al-Syam melahirkan Umayyah yang nantinya Dinasti Umayah akan berkembang di
tangan anaknya yang bernama Mu’awiyah. Sedangkan dari Hasyim akan melahirkan
kakek Nabi yaitu ‘Abd Muthallib, dan salah satu anaknya kelak akan menikah
dengan Aminah dan melahirkan Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW.[3]
Mu’awiyah dinobatkan menjadi
khalifah di Iliya (Yerussalem) pada tahun 40 Hijriyah atau 660 M. Dengan
penobatannya itu, ibu kota provinsi Syuriyah, Damaskus, berubah menjadi ibu
kota kerajaan Islam. Meskipun telah resmi dinobatkan sebagai khalifah, akan
tetapi kekuasaannya terbatas karena beberapa wilayah Islam tidak mengakui
kekhilafahannya.
Sejak tahun 661 M, kekuasann politik
mulai di kuasai oleh dinasti-dinasti tertentu, dimulai oleh Dinasti Umayyah di
Damaskus, diikuti oleh ‘Abbasiyyah di Baghdad, sisa kekuasaan Umayyah Barat di
Kordoba, Fathimiyyah di Cairo, Al-Murobbitun wal Muwahhidun, dan dinasti
regional yang menguasai wilayah kecil.[4]
Pada masa abritase, tangan kanan
Mu’awiyah merebut Mesir dari tangan pendudkung Ali, akan tetapi di wilayah
Irak, mengangkat Hasan, putra tertua Ali, untuk menjadi penerus Ali. Selain
pada itu, adik laki-laki Hasan, Husain, juga tidak mau mengakui kekuasaan
Mu’awiyah sekaligus putranya, Yazid. Pada tahun 680, ia memenuhi seruan
penduduk Irak, dan menobatkannya sebagai penerus setelah Ali dan Hasan.
Pada tahun 680 dengan membawa 4.000
pasukan, Umar bin Abi Waqash mengepung Husain yang ketika itu hanya bersama 200
pasukan dan akhirnya membaitai hingga Husain terluka dan kepalanya dipenggal
kemudian dikirimkan ke Yazid di Damaskus. Namun syahidnya Husain adalah
kesuksesannya menempuh hidup, memenagkan pertempuran di Karbala dengan segala
kemuliaan di mata Allah meskipun ia dipandang hina oleh musuh.[5] Untuk
mengenang peristiwa itu, maka orang Syi’ah merayakan sepuluh hari pertama bulan
Muharram sebagai hari kepedihan dan penyesalan atas kejadian yang menimpa
Husain. Perayaan itu diselenggarakan dua babak, babak pertama disebut Asyura’
di Kazimain (dekat Baghdad) dan 40 hari berikutnya di Karbala yang disebut
dengan “pengembalian kepala”.
Dalam masa pemerintahannya, Yazid
dikenal dengan orang yang suka berfoya foya. Maka Hijaz memplokamirkan ‘Abdullah
menjadi Khalifah. Mendengan kabar tersebut, Yazid segera mengirimkan pasukan
untuk memerangi Makkah. Akibat serangan yang membabi buta tersebut, Ka’bah
terbakar dan rata dengan tanah, batu hitam pecah menjadi tiga. Ketika
pengepungan berlangsung, Yazid dikabarkan meninggal dunia, dan serangan segaja
dihentikan.
Setelah kematian Yazid, diikuti
penarikan pasukan musuh dari tanah Arab, Ibn Al-Zubair diprolklamirkan kembali
sebagai khalifah, tidak hanya di Hijaz dan Irak. Kekhifahan Dinasti Umayyah dipegang oleh anak
Yazid yang bernama Mu’awiyah II yang tak lama kemudian digantikan oleh Marwan,
karena kondisi fisiknya yang lemah dan asakit-sakitan.
Perlawanan yang berkelanjutan
terjadi di Hijaz, sehingga ‘Abdul Malik, anak Marwan, mengutus Al-Hajjaj untuk
mengepung Makkah selama enam setengah bulan. Dengan semangat dan nspirasi Asma’
binti Abu Bakar, anak laki-lakinya berperang dengan gigih dan akhirnya
terbunuh. Kepalanya dikirimkan ke Damaskus dan tubuhnya diberikan ke ibunya
yang telah lanjut usia setelah digantung untuk beberapa lama.
- Pemerintahan Mu’awiyah
Semasa pemerintahannya, Mu’awiyah
melakukan perluasan wilayah dan ekspansi ke arah Afrika Utara yang dipimpin
oleh ‘Uqbah bin Nafi’, sebelah timur, pasukan berhasil menaklukkan Khurasan
dari arah Bashrah, menyeberangi Oxus, dan menyerbu Bukara di Turkistan. Untuk
mngamankan tahtanya, ia lebih memanfaatkan orang Yaman dibandingkan orang
Hijaz.[6]
Selain itu ia merupakan orang yang
pandai dalam organisator militer. Ia mencetak bahan mentah yang terdiri dari
pasukan Suriah menjadi satu kesatuan militer Islam yang terorganisir dan
berdisiplin tinggi, dan menghapuskann sistem militer peninggalan kuno. Ia juga
menghapuskan pemerintahan yang tradisional dan mengadopsi sistem bizantium maka
dapa masanya negara menjadi stabil dan terorganisir dengan baik. Ia juga
berhasil menyatukan kekuasaan dengan membangun kantor catatan negara dan
layanan pos.
Dari beberapa orang istrinya, yang
paling ia sukai adalah Masyun dari bangsa Kilb. Masyun menganut agama Kristen sekte
Yakobus, seperti halnya Na’ilah, istri Ustman, yang juga berasal dari suku
Kilb. Ia sering membawa Yazid menuju Al-Badiyah, tempat tinggal suku Badui. Ia
belajar banyak hal di sana. Al-Badiyah merupakan sekolah para putra mahkota
pada zaman itu. Selain Masyun, ada beberapa orang Kristen yang menduduki
kedudukan penting pada zan itu, diantaranya adalah Mashur bin Sarjun (Sergius).
Meskipun mempunyai banyak keunggulan, ia tidak disenangi oleh sejarawan karena
dalam pemerintahannya ia mengubah Khilafiyah An-Nubuwiyah menjadi Mulk
(kekuasaan duniawi).[7]
- Puncak Kejayaan Dinasti Umayyah
Pendiri dinasti Umayyah, Marwan,
dari keluarga Marwan, yang kemudian digantikan oleh anaknya, Abd Al-Malik
(685-705), yang mendapat julukan ayahnya para raja. Di bawah kepemimpinan ‘Abd
Al-Malik dan keempat anaknya yang kemudian meneruskan kekuasaannya yaitu
Dinasti Umayyah di Damaskus mengalami puncak kejayaan. Dalam pemerintahan
Al-Walid dan Hisyam, imperium islam ini dapat memperluas wilayah kekuasaan dan
kejayaan sampai batas-batas terjauh, membentang dari Lautan Atlantik dan
Pyrenness hingga ke Indus dan perbatasan Cina. Dan sebuah upaya terbesar umat
Islam terbesar saat itu adalah penaklukan Islam ke benua Eropa, Spanyol.
Pada masa itulah juga menandai
proses masionalisasi atau Arabisasi dalam bidang administrasi, pembuatan keping
mata uang arab pertama, pembentukan layanan pos dan pembangunan berbagai
monumen termasuk Kubah Batu di Yerussalem.
Semenjak diangkat menjadi khalifah,
dan selama sepuluh tahun pertama, Abd Al-Malik banyak dijegal oleh lawannya.
Setelah ia meninggal, ia mewariskan kepemerintahan kepada anaknya Al-Walid.
Al-Walid terbukti sukses meneruskan kinerja ayahnya yang gemilang.
Penaklukan Suriah, Irak, dan Mesir
pada masa Umar dan Ustman sempat berakhir, namun tahap kedua dimulai oleh ‘Abd
Malik dan Al-Walid. Kegemilangan ini tidak terlepas oleh peran anak buahnya
yaitu Al- Hajjaj ibn Yusuf Al-Tsaqofi dan Musa Ibn Nushayr.
- Ekspansi ke Asia Tengah, India, dan Semenanjung Iberia
Setelah wilayahnya berhasih
dikendalikan, wakil Umayyah mengirimkan ‘Abd Al-Rahman Ibn Muhammad ibn
Al-Asy’ats untuk mengahdapi Zunbail, raja Turki di Kabul atau Afganistan yang
menolak membayar pajak. Dengan senjata perang yang lengkap, sehingga pasukan
tersebut dijuluki “pasukan burung merak”.[8]
Penaklukan besar lainnya yaitu yang
dilakukan oleh Qutaybah, yang berhasil menaklukan beberapa ekspedisi militer di
kawasan seberang sungai, Transoxiana, di Asia Tengah. Wilayah Oxus, yang hingga
kini menjadi perbatasan Iran dan Turan, atau antara masyarakat yang berbahasa
Persia dan Turki. Qutaybah juga berhasil menguasai Takaristan bagian bawah dan
ibu kotanya Balkh (Yunani, Bakhtra) 705. Menaklukkan Bukhara di Shagda atau
Sogdiana serta kawasan sekitarnya, dan menduduki sebagian wilayah Samarkand dan
Khwarizm (712). Pada (706-715), ia memimpin sebuah ekspedisi militer ke
provinsi Jaxartes, terutama Farghanah. Penaklukan itu menandai masuknya
kekuatan Islam di daerah yang hingga saat itu masih dikenal dengan wilayah
Khanah, Asia Tengah (Cina dan Mongolia). Bukhara, Balkh, dan Samarkand
mempunyai banyak peribadatan Budha, di sana Qutaybah menemukan banyak berhala.
Tanpa ragu, ia membakar patung-patung tersebut dengan tangannya sendiri. Kuil
api di Bukhara juga dihancurkan, jadi Bukhara dan samarkand menjadi pusar
kebudayaan Arab.
Panglima yang lain yang berjasa
memperluas wilayahnya adalah Muhammad ibn Qosim, anak tiri Al-Hajjaj. Dengan
pasukannya ia berhasil menaklukkan Mukran, menerobos hingga daerah yang dikenal
Balukistan. Pada tahun 711-712, berhasih menduduki Sindh, lembah bawah dan
delta sungai Indus. Di antara kota yang berhasil dikuasai adalah kota pelabuhan
Al-Daybul, tempat berdirinya patung Budha yang menjulang tinggi, setinggi 40
cubit dan A-Nirun (sekarang Haidarabad). Penaklukan itu diteruskan ke wilayah
utara sampai Multan, di sebelah Punjab, pusat kuil suci agama Budha. Pada akhir
1947, di kawasan itu lahir sebuah negara baru bernama Pakistan.
- AKHIR KEKUASAAN BANI UMAYYAH
Di antara sebab keruntuhan Daulah Umayyah adalah sebagai berikut:[9]
1.
Pengangkatan dua putra mahkota (Tawliyat
al_'Ahd ithnayn). Tidak jarang putra mahkota pertama yang
menjadi penguasa memecat status putra mahkota yang kedua. Kemudian mengangkat
putranya sebagai putra mahkota yang baru. Kejadian ini menimbulkan rasa
permusuhan dan perselisihan di intern istana yang berakibat pada melemahnya
persatuan di antara mereka.
2.
Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani
Umayyah yang tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang
terjadi pada masa Ali. Kaum Syiah dan Khawarij selalu
melakukan perlawanan baik secara terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi.
Hal ini menyedot kekuatan Daulah Umayyah.
3.
Pertentangan keras antar suku-suku Arab. Pertentangan antara suku Bani Kalb dan Bani Qais yang terjadi pada masa pra
Islam semakin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan penguasa Bani Umayyah
kesulitan menggalang persatuan dan kesatuan di kalangan bangsa Arab. Ditambah
lagi dengan ketidakpuasan kaum Mawali (non Arab) karena diperlakukan
tidak sama (dalam perpajakan) dengan muslim Arab. Sistem yang berbeda itu pada
gilirannya menyebabkan keresahan dan ketidakpuasan dalam lingkungan muslim non
Arab, sehingga pada gilirannya menimbulkan gerakan untuk menumbangkan kekuasaan
Umawiyah
4.
Terlena dalam kemewahan, Dari segi cara hidup,
para khalifah Dinasti Umayyah telah meninggalkan pola dan cara hidup Nabi
Muhammad SAW dan Khulafa' Ar-Rasyidun. Mereka menjaga jarak dengan masyarakat,
dengan tinggal di istana yang dikelilingi oleh para pengawal. Baitul mal yang
selama masa pemerintahan sebelumnya difungsikan sebagai dana swadaya masyarakat
yang difungsikan untuk kepentingan rakyat, pada masa Umayyah telah berubah
fungsi. Kecuali ketika dinasti Umayyah di bawah pemerintahan Umar bin Abdul
Aziz, kas negara adalah milik penguasa dan keluarganya. Rakyat hanya wajib
untuk menyetor pajak tanpa mempunyai hak menanyakan penggunaannya. Pada masa
ini pajak Negara dialihkan menjadi harta pribadi para kholifah. Pendapatan
pajak diperoleh dari, pajak tanah, jizyah, zakat, cukai dan pajak pembelian,
upeti yang harus dibayar menurut perjanjian, seperlima ghonimah, fai’,
impor tambahan hasil bumi, hadiah festifal, dan upeti anak dari bangsa barbar.
Sikap ini membuat lengah penguasa terhadap urusan kenegaraan. Disamping itu
tokoh agama merasa kecewa terhadap perilaku penguasa yang tidak bisa menjadi
suri tauladan.
5.
Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh
keturunan al-Abbas ibn Abd. Al-Muthallib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh
dari Bani Hasyim dan golongan Syiah, dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan
oleh pemerintahan Bani Umayyah
- Peniggalan Dinasti Umayyah
Selama periode kekuasaan Dinasti
Umayyah, kota Hijaz, Mekkah, dan Madinah, menjadi tempat perkembangan musik,
lagu dan puisi. Sedangkan kota kembar di Irak, Kuffah dan Bashrah, berkembang
menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam.[10]
Di perbatasan Persia inilah kajian
ilmiyah tentang bahasa dan tata bahasa Arab dimulai, dan dilakukan terutama
oleh dan unutk para ulama. Tercatat Iyad ibn Abih, salah seorang gubernur dari
pemerintahan Umayyah, masjid di Agung di Kuffah direnovasi dan perluas dengan
ruang-ruang beratap datar disangga oleh kolom-kolom batu. Menurut Tabari
(838-923) seorang sejarawan dan teolog, penentuan luas masjid dengan cara
memerintahkan seseorang untuk melempar tombak ke empat arah mata angin, yang
diarah kiblat (selatan) kemudian ditempatkan dinding kiblat, dengan cara ini
ternyata dinding dan lajur kolom-kolom tepat kea rah kiblat.[11]
Penginggalan yang tak kalah indahnya adalah sebuah masjid yang terletak di
Kordoba, Spanyol. Masjid Agung
Kordoba mula pertama dibangun oleh abdur Rahman I (756-788) pendiri dinasti
Umayyah di Spanyol.[12] Abul
Malik peguasa V (685-705) salah seorang pemimpin terkuat dari Dinasti Umayyah
mempunyai perhatian besar pada Jerussalem. Dia membangun Kubah Batu (dome of
the rock atau qubat al saka) di Jerussalem, hingga saat ini menjadi salah satu
monumen Islam terbesar. Kubah Batu karang terletak di atas buki karang
dariGunung Moriah dibangun antara tahun 687-692. Gunung Moriah
diidentifikasikan sebagai tempat Nabi Ibrahim akan mengorbankan putranya Nabi
Ismail untuk dipersembahkan kepada Allah kemudia dihentikan oleh
malaikat.
Istana Saragosa juga merupakan
peninggalan yang sangat indah dari kekuasaan dinasti Umayyah. Dinding keliling
kombinasi batu dan bata, di dalamnya terdapat sebuah masjid diberi nama
al-muqtadir dari bata.[13]
Peninggalan laninnya adalah benteng
dan islana Al-Hambra di Granada. Granada terletak di pegunungan dekat sierra
Nevada di selatan barat Spanyol, terkenal sebagai ibu kota pemerintahan muslim
terakhir. Al Hambra sebuah istana dalam benteng, merupakan salah satu
peninggalan muslim di Spanyol terindah. Kompleks istana Al hambra dibangun
dibangun di atas dataran tinggi Sabika berketinggian antara 740-220 mdpl. Al hambra
dibangun oleh Muhammad I mulai 1238, dengan membangun saluran air dari sungai
Darro untuk memsok air banyak dipakai terutama kolam dan air mancur dalam
kompleks istana. Di antara penguasa Muslim bermukim di Granada membangun dan
mengembangkan Alhambra terpenting adalah Muhammad V yang mendirikan bagian
paling indah dari Istana, dinamakan Taman Singa (Court of Lion).[14]
Universitas AlQarawiyyin atau Jami'ah AlQarawiyyin berada di kota Fez
Maroko yang didirikan pada 859 M. Pada tahun 1998, Guiness World of Record
menempatkan universitas ini sebagai Universitas tertua dan pertama yang
menawarkan gelar kesarjanaan. Cikal bakal universitas ini berasal dari
aktivitas diskusi yang digelar di Masjid antara penduduk setempat dan juga para
pendatang yang berasal dari Qairawan atau Tunisia. Selain itu juga digunakan
sebagai tempat untuk membahas perkembangan politik. Lambat laun apa yang
dibahas mencakup berbagai macam bidang ilmu.[15]
- Khalifah-klalifah Dinasti Umawiyah
Ada 14 orang khalifah Bani Umayyah
yang memiliki pengaruh besar di masa Dinasti Umawiyah. Adapun para khalifah
Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1.
Mu’awiyah
bin Abi Sufyan (41-60 H / 661-680 M)
2.
Yazid
bin Muawiyah (60-64 H / 680-683)
3.
Mu’awiyyah
bin Yazid (64 H / 683 M)
4.
Marwan
bin al-Hakam (64-65 H / 683-685 M)
5.
Abdul
Malik bin Marwan (65-86 H / 685-705 M)
6.
Al-Walid
bin Abdul Malik (86-96 H / 705-717 M)
7.
Sulaimann
bin Abdul Malik (96-99 H / 715-717 M)
8.
Umar
bin Abdul Aziz (99-101 H / 717-720 M)
9.
Yazid
bin Abdul Malik bin Marwan (101-105 H / 720-724 M)
10.
Hisham
bin Abdul Malik (105-125 H / 724-743 M)
11.
Al-Walid
bin Yazid bin Abdul Malik (125-126 H / 743-744 M)
12.
Yazid
an-Naqis bin Al-Walid (126 H / 744 M)
13.
Ibrahim
bin al-Walid bin Abdul Malik (126 H / 744 M)
14.
Marwan
bin Muhammad (127-132 H / 744-750 M)
I.
Daftar Pustaka
Aryatna,
Alifa, 2013, 125 Cerita Fakta Islam yang Unik dan Menakjubkan, Jakarta:
Transmedia
Hitti,
Philip K., 2006, History of The Arabs From the Earliest Time to The Present,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Ibrahim, Qasim A. dan Muhammad A. Saleh, 2014,
Buku Pintar Sejarah Islam, Jakarta: Zaman
Ilham,
Masturi, Malik Supar, Abidun Zuhri, 2001, Muqoddimah Ibnu Khaldun,
(Jakarta: Pustaka Al-Kaustar
Nabil,
Husin, 2016, Muara Cinta, Jakarta: Mizan Publika
Rauf,
Imam Faesal Abdul, 2007, Seruan Azan di Puing WTC “Dakwah Islam di Jantung
Amerika Pasca 9/11”, Bandung: Mizan Pustaka,
Sumalyo, Yulianto, 2006, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
[1]
Alifa Aryatna, 125
Cerita Fakta Islam yang Unik dan Menakjubkan, (Jakarta: Transmedia, 2013),
hal: 40
[2] Qasim A.
Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam, (Jakarta:
Zaman, 2014), hal: 237
[3]
Philip K.
Hitti, History of The Arabs From the Earliest Time to The Present,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal: 235
[4] Imam Faesal
Abdul Rauf, Seruan Azan di Puing WTC “Dakwah Islam di Jantung Amerika Pasca
9/11”, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hal: 226
[5]
Husin Nabil, Muara
Cinta, (Jakarta: Mizan Publika, 2016), hal: 616
[6] Ibid, hal: 259
[7] Ibid, hal: 239
[8]
Ibid, hal: 259
[9] Masturi Ilham,
Malik Supar, Abidun Zuhri, Muqoddimah Ibnu Khaldun, (Jakarta: Pustaka
Al-Kaustar, 2001), hal: 258
[10] Ibid, hal: 301
[11]
Yulianto sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2006), hlm.56
[13] Ibid: hal 223
[14] Ibid: hal 225
[15]
Perjuanganislam.blogspot.co.id,
7 peninggalan umat Islam, diakses tanggal 10 junuari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar