Meneladani
para Nabi
Sudah
sepantasnya umat Islam kembali kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi dan
Rasul-Nya. Kembali mengkaji keteladanan akhlak yang sudah diajarkan dan
dicontohkan. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi dan Rasul adalah manusia pilihan
yang paling berat ujiannya. Namun dengan ketabahan dan kesabaran, para Nabi dan
Rasul mendapatkan derajad yang mulia disisi Allah. Berapa banyak manusia yang
menderita karena kebutaannya atau penyakit yang menimpa. Merasa Allah tidak
adil atas hidupnya. Sebagai umat Islam seringkali lupa atas pelajaran dari
kisah Nabi Ayub a.s. Dia adalah cucu Nabi Ishaq bin Ibrahim a.s. Beliau
mengalami kekurangan harta benda dan sakit yang berkepanjangan. Bukan hanya
itu, beliau juga kehilangan anak-anaknya, bahkan diasingkan dari kehidupan
bermasyarakat. Namun, bujukan syaitan dan iblis tidak menggoyahkan Nabi Ayub
untuk terus beribadah kepada Allah. Maka Allah-pun tidak membiarkan hamba-Nya
dalam keadaan yang sedemikian rupa. Kemudian Allah datangkan untuknya mata air
yang sejuk dan dapat menyembuhkan penyakit yang menimpanya. Dari Umar bin
Sa’id bin Abu Husain dia berkata, telah menceritakan kepadaku ‘Atha’ bin Abu
Rabah dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda: “Allah
tidak akan menurunkan penyakit melaimkan menurunkan obatnya juga.”
Yang
tidak boleh dilupakan adalah bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu dengan
sia-sia. Segala macam musibah yang menimpa manusia yang berupa rasa takut,
lapar, kekurangan harta benda dan lainnya, pasti dibalik itu semua ada
hikmahnya. Seperti halnya yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam hadist
shahihnya, dari Anas bin Malik ia berkata: “Saya mendengar Nabi Muhammad SAW
bersabda: “Allah berfirman, “Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan
penyakit pada kedua matanya, kemudian ia mampu bersabar, maka Aku akan
menggantinya dengan syurga.” Manusia dengan kebutaan matanya mendapatkan
kesempatan untuk ke syurga dengan ketabahan dan kesabaran, karena yang buta
sesungguhnya adalah mereka yang hatinya tertutup bukanlah matanya. Dalam
Al-Qur’an juga dikatakan inna ma’al ‘usri yusron (sesungguhnya setelah
kepayahan itu ada kemudahan). Bagi manusia yang faham dan mengerti
nilai-nilai Islam, maka ia akan selalu berprasangka baik kepada Allah, tidak
menyalahkan dan mencari Allah jika mendapatkan ujian dan cobaan.
Sudah
banyak kasus dalam masyarakat yang mana orang muslim diuji dengan sakit yang
berkepanjangan, mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Sesungguhnya sakitnya
tak sepadan dengan sakitnya Nabi Ayub atau panas kobaran api Nabi Ibrahim.
Bunuh diri bukanlah jalan pintas untuk mencari ketenangan di dunia dan akhirat.
Maka hal yang seperti inilah yang selayaknya umat Islam pelajari, tentang
bagaimana cara menyikapi keadaan dalam kondisi yang kurang sehat. Harus selalu
berfikir positif bahwa sehat itu adalah nikmat dan begitu pula dengan sakitnya.
Orang sehat tidak pernah merasakan nikmatnya kesehatan jika belum merasakan
sakit. Mengharapkan kematian atas cobaan tidak diperkenankan dalam ajaran
Islam. Dari hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari, dari Anas bin Malik r.a.
dia berkata: “Nabi Muhammad SAW bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian
mengharapkan kematian karena musibah yang menimpanya, kalau hal itu harus,
hendaknya ia mengatakan, “Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan baik untukku
dan matikanlah aku jika kematian itu baik untukku.” Dari hadist tersebut
telah jelas ajaran Islam tentang bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi
penyakit yang menimpanya. Menyerahkan semua perkaranya kepada Allah karena
segala sesuatu datang dari Allah dan kembali juga kepada-Nya.
Maka
dalam kehidupan ini yang paling penting adalah syukur dan mengharapkan barokah.
Barokah dari segala sesuatu yang telah dilakukan semasa hidup. Karena syukur
dapat menambah rezeki dan kufur nikmat menghilangan kenikmatan itu sendiri. Waallahu
Muwaffiq ilaa Aqwamit Thoriq.