“HUKUM RAJAM”
Hukum dalam Islam bertujuan untuk memberikan
efek jera terhadap pelaku kejahatan. Lain daripada itu hukum dalam Islam
bertujuan untuk menjaga dan melindungi hak-hak manusia serta memenuhi kebutuhan
dasarnya, dalam menjaga Agama (hifdzu Din), menjaga jiwa (hifdzu nafs),
melindungi akal (hifdzu aql), menjaga harta (hifdzu maal), dan menjaga
keturunan (hifdzu nasab). Sehingga dengan begitu kebutuan primer, sekunder, dan
terier manusia dapat dipenuhi. Pendapat bahwa hukum yang diterapkan dalam Islam
begitu keras hingga ada hukum potong tangan, cambuk, ataupun rajam, merupakan
pendapat yang salah. Karena hukum yang diberlakukan dalam agama Islam bukan
untuk menjauhkan dari Rob-nya, akan tetapi sebaliknya. Dapat dilihat bahwa
negara yang menerapkan hukum Islam mempunyai angka kejahatan yang kecil, salah
satunya adalah Saudi Arabia. Lain halnya di negara Islam yang tidak menerapkan
hukum Islam, angka kejahatan sangat tinggi, termasuk Indonesia.
Hukum
rajam merupakan sanksi pidana bagi orang yang melakukan zina dalam Islam. Rajam
dijatuhkan bagi orang yang sudah menikah yang melakukan zina (zina muhsan) atau
adultery. Adapun yang zina yang dilakukan oleh orang yang belum menikah (zina
ghoiru muhsan) atau fornication, tidak dihukum rajam melainkan dicambuk 100
kali. Seperti yang tertulis di Al-Qur’an sutar An-Nuur ayat 2, yang artinya:
“Wanita dan laki-laki yang berzina
maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada
mereka mencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada
Allah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang beriman.”
Melihat maslahah maka rajam dan hukum Islam
lainnya lebih memberikan maslahah bagi korban atau pelaku kejahatan. Seperti
yang terjadi di Barat, seringkali korban tidak terlalu dipedulikan, karena
peran korban diambil alih oleh negara (polisi, jaksa, atau hakim).[1]
Maka hukuman ringan dalam Islam bagi pelaku pidana perampokan adalah hukuman
penjara dan hukuman yang lebih tinggi adalah potong tangan.[2]
Sedangkan sabda Nabi:
واغدد يا أنيس على امرءة هذا فإن
اعترفت فارجمها
Artinya: “Wahai
Unais, datangilah wanita itu, bila dia mengaku, maka rajamlah”[3]
Seperti halnya
yang disampaikan oleh Umar Bin Khaththab dalam khuuthbahnya bahwa:
Adapun ayat-ayat hukum rajam yang
diturunkan Allah, kami telah membacanya, mencernanya, dan menyadari akan
pentinya penerapan hukum rajam. Karana Rasulullah telah melaksanakan hukum
rajam, maka kamipun melaksanakan hukum rajam setelah wafatnya beliau. Aku
khawatir seandainya suatu saat nanti seseorang berkata, “Demi Allah kami tidak
mendapatkan ayat yang membicarakan tentang hukum rajam dalam kibab Allah. Maka
mereka akan tersesat dengan meninggalkan kewajiban yang telah diperintahkan-Nya
kepada mereka.[4]
Yang harus diperhatikan adalah
prosedur rajam itu sendiri. Tidak diperbolehkan kepada hakim menjatuhkan
hukuman rajam terhadap pelaku kecuali telah memenuhi beberapa syarat,
diantaranya:[5]
1.
Wilayah
hukum resmi
2.
Adanya
mahkamah syari’ah
3.
Peristiwa
terjadi di wilayah hukum
4.
Terpenuhi
semua syarat bagi pelaku zina
5.
Kesaksian
4 orang atau pengakkuan sendiri
Dalam suatu cerita yang mengisahkan bahwa Nabi
Muhammad berjalan dan menemui orang yang sedang dicambuk dan dipanasi badannya
karena berzina, mereka melakukan hal tersebut karena faktor sosial dan
perbedaan kekuasaan di kaum Yahudi, padahal hukuman bagi mereka seharusnya
lebih ari itu. Maka Nabi Muhammad memerintahkan kepada Yahudi untuk melakukan
rajam. Maka setelah itu turunlah ayat yang memerintahkan untuk menegakkan hukum
Tuhan.[6]
Setelah datangnya Islam, maka agama ini membenarkan hukum rajam, akan tetapi
dengan syarat-syarat tertentu.[7]
Aturan pernikahan bagi orang yang berzina juga
tercantum di Al-qur’an surat An-Nur ayat 3 yang artinya:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini perempuan
kecuali yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina
tidak dikawini oleh laki-laki kecuali oleh laki-laki yang berzina dan musyrik.
Dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang yang mukmin.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa laki-laki yang
berzina tidak diperbolehkan menikan dengan perempuan mukmin, demikian
sebaliknya. Akan tetapi perempuan dan laki-laki yang pernah berzina dan mereka
sudah bertaubat kepada Allah lagi tidak mengulangi kesalahannya, maka tidak
tercantum dalam hukum tersebut.[8]
Hal ini juga diterangkan bahwa laki-laki pezina yang menikahi selain perempuan
yang pezina atau musyrik hukumnya haram.[9]
[1] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan
Syariat dalam Wacana dan Agenda, (Gema Insani: Jakarta, 2003), hal. 93
[2] Maulana
Muhammad Ali, Islamologi, (Darul Kutubil Islamiyah: Jakarta, 2016), Cet:
8, hal. 762
[4] Muhammad Ahamd
Asyur, Khotbah dan Wasiat Umar Ibnul Hkaththab r.a, (Gema Insani Press:
Jakarta, 2002), hal. 40
[6] Zuhairi
Miswari, Al-Qur’an Kitab Toleransi, (Grasindo: Jakarta, 2010), hal. 363
[7] Ali ahmad Al-Jarjawi, Indahnya
Syari’at Islam, (Gema Insani Press: Jakarta, 2006), hal. 271
[8] Miftah Faridl, 150
Masalah Nikah dan Keluarga, (Gema Insanin Press: Jakarta, 1999), cet: 4,
hal. 34
[9] Hasbi Ash
Shiddieqy, Tafsir Al-qur’anul Majid, (Pustaka Rizki Putra:Semarang,
2000), cet: 4, hal. 2789