Sabtu, 08 Oktober 2016

HUKUM PIDANA ISLAM



“HUKUM RAJAM”

             Hukum dalam Islam bertujuan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan. Lain daripada itu hukum dalam Islam bertujuan untuk menjaga dan melindungi hak-hak manusia serta memenuhi kebutuhan dasarnya, dalam menjaga Agama (hifdzu Din), menjaga jiwa (hifdzu nafs), melindungi akal (hifdzu aql), menjaga harta (hifdzu maal), dan menjaga keturunan (hifdzu nasab). Sehingga dengan begitu kebutuan primer, sekunder, dan terier manusia dapat dipenuhi. Pendapat bahwa hukum yang diterapkan dalam Islam begitu keras hingga ada hukum potong tangan, cambuk, ataupun rajam, merupakan pendapat yang salah. Karena hukum yang diberlakukan dalam agama Islam bukan untuk menjauhkan dari Rob-nya, akan tetapi sebaliknya. Dapat dilihat bahwa negara yang menerapkan hukum Islam mempunyai angka kejahatan yang kecil, salah satunya adalah Saudi Arabia. Lain halnya di negara Islam yang tidak menerapkan hukum Islam, angka kejahatan sangat tinggi, termasuk Indonesia.
Hukum rajam merupakan sanksi pidana bagi orang yang melakukan zina dalam Islam. Rajam dijatuhkan bagi orang yang sudah menikah yang melakukan zina (zina muhsan) atau adultery. Adapun yang zina yang dilakukan oleh orang yang belum menikah (zina ghoiru muhsan) atau fornication, tidak dihukum rajam melainkan dicambuk 100 kali. Seperti yang tertulis di Al-Qur’an sutar An-Nuur ayat 2, yang artinya:
Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman.”
 Melihat maslahah maka rajam dan hukum Islam lainnya lebih memberikan maslahah bagi korban atau pelaku kejahatan. Seperti yang terjadi di Barat, seringkali korban tidak terlalu dipedulikan, karena peran korban diambil alih oleh negara (polisi, jaksa, atau hakim).[1] Maka hukuman ringan dalam Islam bagi pelaku pidana perampokan adalah hukuman penjara dan hukuman yang lebih tinggi adalah potong tangan.[2] Sedangkan sabda Nabi:
واغدد يا أنيس على امرءة هذا فإن اعترفت فارجمها
Artinya: “Wahai Unais, datangilah wanita itu, bila dia mengaku, maka rajamlah”[3]
Seperti halnya yang disampaikan oleh Umar Bin Khaththab dalam khuuthbahnya bahwa:
            Adapun ayat-ayat hukum rajam yang diturunkan Allah, kami telah membacanya, mencernanya, dan menyadari akan pentinya penerapan hukum rajam. Karana Rasulullah telah melaksanakan hukum rajam, maka kamipun melaksanakan hukum rajam setelah wafatnya beliau. Aku khawatir seandainya suatu saat nanti seseorang berkata, “Demi Allah kami tidak mendapatkan ayat yang membicarakan tentang hukum rajam dalam kibab Allah. Maka mereka akan tersesat dengan meninggalkan kewajiban yang telah diperintahkan-Nya kepada mereka.[4]

            Yang harus diperhatikan adalah prosedur rajam itu sendiri. Tidak diperbolehkan kepada hakim menjatuhkan hukuman rajam terhadap pelaku kecuali telah memenuhi beberapa syarat, diantaranya:[5]
1.      Wilayah hukum resmi
2.      Adanya mahkamah syari’ah
3.      Peristiwa terjadi di wilayah hukum
4.      Terpenuhi semua syarat bagi pelaku zina
5.      Kesaksian 4 orang atau pengakkuan sendiri
Dalam suatu cerita yang mengisahkan bahwa Nabi Muhammad berjalan dan menemui orang yang sedang dicambuk dan dipanasi badannya karena berzina, mereka melakukan hal tersebut karena faktor sosial dan perbedaan kekuasaan di kaum Yahudi, padahal hukuman bagi mereka seharusnya lebih ari itu. Maka Nabi Muhammad memerintahkan kepada Yahudi untuk melakukan rajam. Maka setelah itu turunlah ayat yang memerintahkan untuk menegakkan hukum Tuhan.[6] Setelah datangnya Islam, maka agama ini membenarkan hukum rajam, akan tetapi dengan syarat-syarat tertentu.[7]
Aturan pernikahan bagi orang yang berzina juga tercantum di Al-qur’an surat An-Nur ayat 3 yang artinya:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini perempuan kecuali yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini oleh laki-laki kecuali oleh laki-laki yang berzina dan musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang yang mukmin.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa laki-laki yang berzina tidak diperbolehkan menikan dengan perempuan mukmin, demikian sebaliknya. Akan tetapi perempuan dan laki-laki yang pernah berzina dan mereka sudah bertaubat kepada Allah lagi tidak mengulangi kesalahannya, maka tidak tercantum dalam hukum tersebut.[8] Hal ini juga diterangkan bahwa laki-laki pezina yang menikahi selain perempuan yang pezina atau musyrik hukumnya haram.[9]


           




[1] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, (Gema Insani: Jakarta, 2003), hal. 93
[2] Maulana Muhammad Ali, Islamologi, (Darul Kutubil Islamiyah: Jakarta, 2016), Cet: 8,  hal. 762
[3] http://www.rumahfiqih.com, diakses tanggal 28 September 2016
[4] Muhammad Ahamd Asyur, Khotbah dan Wasiat Umar Ibnul Hkaththab r.a, (Gema Insani Press: Jakarta, 2002),  hal. 40
[5] Ibid, http://www.rumahfiqih.com, diakses tanggal 28 September 2016
[6] Zuhairi Miswari, Al-Qur’an Kitab Toleransi, (Grasindo: Jakarta, 2010), hal. 363
[7] Ali ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syari’at Islam, (Gema Insani Press: Jakarta, 2006), hal. 271
[8] Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, (Gema Insanin Press: Jakarta, 1999), cet: 4, hal. 34
[9] Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al-qur’anul Majid, (Pustaka Rizki Putra:Semarang, 2000), cet: 4, hal. 2789